Biopestisida: Solusi Ramah Lingkungan untuk Pertanian Berkelanjutan

 

Biopestisida: Solusi Ramah Lingkungan untuk Pertanian Berkelanjutan

    Pertanian berkelanjutan menjadi sebuah fokus utama dalam menjawab tantangan global terkait ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. Dalam upaya mencapai pertanian yang lebih berkelanjutan, peran biopestisida muncul sebagai solusi yang menjanjikan. Biopestisida, yang berbeda dari pestisida kimia konvensional, menawarkan pendekatan yang lebih ramah lingkungan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Pentingnya pertanian berkelanjutan semakin terasa di tengah perubahan iklim dan tantangan terhadap keberlanjutan ekosistem pertanian. Dalam menghadapi perubahan tersebut, mencari solusi yang tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga melindungi lingkungan merupakan prioritas utama. Pestisida kimia konvensional, yang telah lama menjadi andalan petani, memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Peningkatan residu pestisida dalam tanah, air, dan tanaman memberikan tantangan serius terhadap keberlanjutan ekosistem pertanian. Oleh karena itu, mencari alternatif yang lebih aman dan berkelanjutan menjadi suatu kebutuhan mendesak. Penulisan artikel ini bertujuan untuk membahas peran biopestisida dalam mendukung sistem pertanian berkelanjutan.

Biopestisida dan Jenisnya

Dalam membahas peran biopestisida dalam mendukung sistem pertanian berkelanjutan, penting untuk memahami konsep dasar dan berbagai jenis biopestisida yang tersedia.


    Biopestisida merupakan salah satu teknologi ramah lingkungan yang mendukung pengembangan pertanian organik. Biopestisida adalah pestisida yang bahandasarnya berasal dari bahan alami yang relatif mudah dibuat dengan kemampuandan pengetahuan yang terbatas. Biopestisida merupakan bahan hayati, baik berupa tanaman, hewan, mikroba, atau protozoa yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman (Pangaribuan et al.,2016). Biopestisida merujuk pada bahan-bahan alami atau mikroorganisme yang digunakan untuk mengendalikan hama, penyakit, atau gulma tanaman. Berbeda dengan pestisida kimia yang bersifat sintetis, biopestisida bersumber dari organisme hidup seperti bakteri, fungi, virus, atau ekstrak tumbuhan. Konsep utama di balik biopestisida adalah pemanfaatan organisme atau senyawa alami untuk melawan organisme pengganggu pertanian. Perbedaan mendasar antara biopestisida dan pestisida kimia terletak pada sumber bahan aktif yang digunakan. Pestisida kimia dibuat secara sintetis dan cenderung bersifat toksik, sementara biopestisida bersifat lebih spesifik dalam menargetkan organisme pengganggu tanaman tanpa memberikan dampak serius pada organisme non-target atau lingkungan.

    Biopestisida dapat dibedakan menjadi pestisida nabati dan pestisida hewani (Tarukallo et al., 2014). Biopestisida yang terbuat dari tanaman disebut pestisida nabati (Listiyati et al.,2012). Jenis biopestisida yang sering kita temukan untuk mengatasi sumber gangguan pada usaha-usaha budi daya pertanian adalah bioinsektisida, biofungisida, dan bioherbisida. Bioinsektisida adalah semua organisme hidup (baik bakteri, virus, jamur atau kapang, protozoa, tanaman, maupun hewan) yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama. Biofungisida adalah semua jenis organisme hidup yang dapat digunakan untuk mengendalikan jamur yang berperan sebagai hama atau penyebab penyakit pada tanaman, hewan, dan manusia. Bioherbisida ditujukan untuk pengendalian gulma atau tanaman pengganggu. Gangguan yang dimaksud pada umumnya karenafaktor kompetisi akan kebutuhan hidup (Suwahyono, 2013).

Keuntungan Penggunaan Biopestisida

    Penggunaan biopestisida dapat menjamin keamanan ekosistem sehingga dapat mendukung pertanian berkelanjutan karena tidak meninggalkan residu bagi lingkungan. Teknologi biopestisida adalah teknologi eco-farming yang secara relatif menguntungkan petani karena mengurangi pemakaian pestisida anorganik yang harganya relatif lebih mahal dan mempunyai kesesuaian dengan kondisi setempat karena bahannya berasal dari lokasi setempat. Keuntungan penggunaan biopestisida adalah ramah lingkungan karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya mudah luruh di alam (Schumann and D’Arcy 2012). Biopestisida tidak menimbulkan resistensi atau resurgensi sehingga tidak menimbulkan rasras baru pada mikroorganisme penyebab penyakit (Kardinan, 2004). Senyawa dalam biopestisida tidak bersifat racun pada manusia, sehingga tidak menggangggu kesehatan pengguna (petani) dan konsumen (Sumartini, 2016). Dengan keunggulan-keunggulan ini, biopestisida mengemuka sebagai solusi yang menjanjikan dalam membentuk pertanian berkelanjutan. Penerapan praktik-praktik ini tidak hanya mendukung keberlanjutan ekosistem, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan petani dan kesehatan konsumen.

    Penggunaan biopestisida telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai konteks pertanian. Studi kasus di berbagai daerah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana biopestisida dapat menjadi solusi efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Prayogo 2013, penggunaan biopestisida berupa cendawan Beauveria brassiana dapat mengendalikan serangan dari kepik hijau pada tanaman kedelai.  Hasil penelitian menunjukkan cendawan B. bassiana bersifat ovisidal karena toksik dan mampu menginfeksi telur kepik hijau, baik telur yang baru diletakkan maupun telur berumur enam hari. Akibat infeksi tersebut, telur yang tidak menetas mencapai 96%. Contoh lain dari penggunaan biopestisida adalah penelitian dari Prayogo 2011 yaitu penggunaan cendawan Lecanicillium lecanii yang dapat mengendalikan hama kepik coklat, dimana cendawan ini mampu menginfeksi telur agar tidak menetas.


Tantangan dan Kelemahan Penggunaan Biopestisida

    Meskipun biopestisida menawarkan banyak keunggulan dalam mendukung pertanian berkelanjutan, namun masih terdapat tantangan dan peluang yang perlu diatasi agar pemanfaatannya dapat mencapai potensi maksimal. Tantangan utama adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman di kalangan petani tentang biopestisida. Pendidikan dan pelatihan yang tepat perlu ditingkatkan untuk memastikan petani dapat memahami dan mengimplementasikan biopestisida secara efektif.

    Kelemahan biopestisida menurut Tarukallo et al. (2014) adalah daya kerjanya relatif lambat, tidak dapat membunuh secara langsung hama sasaran,tidak tahan terhadap sinar matahari, dan kurang praktis karena memerlukan penyemprotan berulang. Sumartini (2016) menyatakan biopestisida berbentuk ekstrak dari bagian tanaman, bukan sintesis senyawa aktifnya sehingga membutuhkan volume yang besar sehingga kurang praktis dalam transportasi. Efektivitas biofungisida tidak bisa sama dengan fungisida kimia. Kelemahan biopestisida menurut Supriadi (2015) yaitu efektifitasnya berlangsung lebih singkat dibanding pestisida sintetis,  memerlukan jumlah yang lebih banyakdan sering dalam aplikasinya, bahan baku sering terbatas dan mutunya tidakstandar, dan mutu kandungan kimia aktif sering beragam bergantung pada tempat tumbuh.

    Pengenalan dan pemanfaatan biopestisida dalam konteks pertanian berkelanjutan membawa implikasi positif yang signifikan. Berdasarkan pembahasan kali ini menunjukkan biopestisida memiliki peran krusial dalam transformasi menuju pertanian yang lebih berkelanjutan. Dengan demikian, sebagai solusi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, biopestisida dapat memainkan peran sentral dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di sektor pertanian.

-

Nama  : Pratama Dikko Marindo

NPM   : 21025010156

Kelas   : SPB C025

 

REFFERENSI

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya.Jakarta

Listiyati, Alif Kiky, Undari Nurkalis, Sudiyanti dan Retno Hestiningsih. 2012.Ekstraksi Nikotin dari Daun Tembakau (Nicotina tabacum) dan Pemanfaatannya sebagai Insektisida Nabati Pembunuh Aedes sp. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. 2(2): 67-70

Pangaribuan, Darwin H., Niar Nurmauli dan Sarno. 2016. Penyuluhan dan Demplot Teknologi Pertanian Organik dengan Demonstrasi Aplikasi Pupuk Organik Cair dan Biopestisida di Desa Braja Caka Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 22(3): 88-95.

Prayogo, Y. 2011. Sinergisme cendawan entomopatogen Lecanicium lecanii dengan insektisida nabati untuk meningkatkan efikasi pengendalian telur kepik cokelat Riptortus linearis pada kedelai. Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman Tropika. 11(2):116-117.

Prayogo, Y. 2013. Patogenesitas cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Deuteromycotina, Hyphomycetes) pada berbagai stadi kepik hijau (Nezara viridula L.). Jurnal Hama dan Penyakit Tanaman Tropika 13(1):75-86.

Schumann, G.L. and Gleora J.D’ Arcy. 2012. Hungry Planet, Stories of Plant.The American Phytopathological Society. Minnesota.

Sumartini. 2016. Biopestisida untuk Pengendalian Hama dan Penyakit TanamanAneka Kacang dan Umbi. Iptek Tanaman Pangan. 11(2): 159-166.

Suwahyono, Untung. 2013. Membuat Biopestisida. Penebar swadaya. Jakarta.

Tarukallo, Piter Barto, Andi Alimuddin Unde dan Ladaha. 2014. Faktor yangMemengaruhi Adopsi Teknologi Biopestisida oleh Petani Sayur di Sendanadan Purangi Kota Palopo. Jurnal Komunikasi Kareba. 3(2): 125-132.

 

Komentar